Jumat, 12 September 2008

Mengapa Pendidikan Agama Tak Menarik


Relevensi pendidikan agama dalam transformasi sosial akhir-akhir ini banyak dipertanyakan. Pertanyaan itu menyangkut apakah pendidikan agama seperti model yang dewasa ini dipraktikkan sudah tepat dan memiliki relevansi dalam transformasi sosial. Pendidikan agama tidak boleh hanya berbentuk pengajaran agama. Artinya pengalihan pengetahuan tentang agama bisa menghasilkan pengetahuan dan ilmu, tetapi pengetahuan ini belum menjamin pengarahan manusia yang bersangkutan untuk hidup sesuai pengetahuan tersebut (Riberu, 1976). Pendidikan agama akan dapat memenuhi fungsinya apabila ia mampu menggerakkan anak didik belajar mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari (Soedjatmoko, 1977). Pada kenyataannya pendidikan agama dianggap telah gagal dalam memberikan sumbangan bagi lahirnya generasi baru yang memiliki komitmen, respek diri dan respek sosial. Ada catatan kegagalan lain pendidikan agama berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup, pembekalan menghadapi modernisasi, pencegahan konflik kekerasan, penguatan flatform sosial, penguatan hak asasi manusia dan apresiasi kepada budaya lokal. (Dian Nafi, 2003). Ditegaskan oleh Dian Nafi, terdapat tiga faktor yang ditengarai memperparah kegagalan di atas. (1) Pengajaran agama terlalu dogmatik dan tekstual, (2) lemahnya orientasi kontekstual dalam pengajaran dan pengamalan agama dan (3) meningkatnya pergumulan struktural yang menyertakan idiom-idiom keagamaan. Permasalahannya bagaimana model pendidikan yang tepat sesuai khasanah dan kebudayaan lokal agar mampu menghasilkan generasi baru yang mampu mengamalkan ajaran agama dalam rangka mengatasi persoalan sosial. Kontekstualisasi pendidikan agama dalam perubahan sosial dalam hal ini memiliki relevansi yang kuat. Transformasi Sosial Mochtar Buchori mendefinisikan pendidikan agama sebagai upaya sabar untuk mengembangkan cara hidup yang mengikuti perintah suatu agama. Pola hidup penganut agama didasari oleh penghayatannya atas nilai-nilai agama yang dianutnya. Nilai-nilai itu diserap untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama memiliki urgensi dalam memberikan sumbangan konstruktif bagi pembangunan bangsa. Bahkan pada tataran pribadi agama memainkan peran yang menentukan dalam pembentukan akhlaq, moralitas dan kepribadian anak. Internalisasi nilai-nilai agama ke dalam kehidupan anak akan memberikan arah bagi perkembangannya di masa depan. Dengan demikian, tugas pendidikan agama tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan secara keseluruhan, melainkan juga pada tingkat manusia sebagai pribadi. Apa yang disampaikan J Riberu bahwa pendidikan agama tidak boleh sekadar pengajaran agama merupakan hal yang sangat fundamental. Artinya jangan sampai pendidikan agama hanya merupakan pengalihan pengetahuan agama, karena pengalihan pengetahuan agama mungkin bisa menghasilkan pengetahuan dan ilmu, tetapi pengetahuan itu belum mampu menjamin pengarahan untuk hidup sesuai pengetahuan tersebut. Oleh karena itu pendidikan yang autentik, selain mengajarkan bahan-bahan pengetahuan, juga harus mengusahakan pengamalan dan penghayatan nilai-nilai di dalam situasi dan lingkungan hidup sehari-hari. Pendidikan agama seringkali menjadi tidak menarik karena disajikan secara konvensional dan dogmatis. Penyajian terlalu terkesan indoktrinasi yang dikemas deduktif seringkali membosankan sehingga seakan agama tidak memiliki relevansi dan tercerabut dari konteks permasalahan kehidupan. Padahal apabila dikemas dalam model yang menarik, tentu akan menarik pula. Kemudian akan membangkitkan rasa ingin tahu terhadap konteks pengetahuan agama dengan realitas sosial. Model penyampaian yang memberikan peran serta peserta didik dalam kegiatan eksplorasi sosial akan memberikan tantangan pada peserta didik terhadap aplikasi dan implementasi nilai-nilai agama yang telah diajarkan. Dalam situasi pergeseran nilai yang tidak menentu, agama dapat menjadi pedoman yang kokoh. Ia akan menjadi sumber inspirasi untuk menghadapi bermacam-macam tantangan. Pendidikan agama akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya dalam proses pembangunan, apabila ia mampu menggerakkan anak didik untuk belajar mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama yang hanya menekankan penghafalan kaidah-kaidah dalam bentuk abstak-steril kurang memenuhi relevansi terhadap usaha mengelola perubahan sosial melalui upaya membina anak didik dalam menghadapi masa peralihan yang kritis semacam ini. Pendidikan akan dapat memenuhi fungsinya apabila pendidikan agama (1) berusaha memupuk keberanian berinisiatif, peka terhadap hak dan keperluan sesama manusia, dan sanggup bekerja sama untuk kepentingan umum. (2) Berusaha memupuk motivasi yang kuat pada diri anak didik untuk mempelajari kenyataan sosial yang terdapat pada masyarakat, (3) berusaha merangsang anak didik mengamalkan iman mereka dan (4) berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan ilmu non-agama (Soedjatmoko dalam Sindhunata, 2001). Integrasi pendidikan agama dengan kehidupan masyarakat perlu dikembangkan karena di Indonesia agama memberikan warna yang khas dalam segi-segi sosial masyarakat. Dalam bukunya yang terkenal, Religion in The Politics of Economic Development, Soedjatmoko (1994) pernah mengingatkan sistem organisasi sosial kebanyakan masyarakat tradisional Asia dibentuk oleh agama. Mengapa struktur sosial dan budaya masyarakat harus dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pendidikan agama? Paling tidak ada tiga alasan yang perlu dipertimbangkan pada konteks ini. Pertama, struktur sosial dan nilai-nilai budaya merupakan fakta dan realitas sosial yang ada di lingkungan anak didik. Kedua, budaya lokal yang ada di lingkungan belajar anak didik adalah contoh konkret perkembangan peradaban yang dimiliki masyarakat. Ketiga, tentu saja kebudayaan lokal memiliki kearifan lokal yang dapat dijadikan teladan bagi anak didik dalam menghayati konsep agama. Kebudayaan Lokal Pendidikan agama memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh ilmu pengetahuan lain. Karakteristik ini terletak pada aspek penekanan pengamalan ilmu ke dalam kehidupan sehari-hari. Kunci keberhasilan bukan saja terletak pada kemampuan penguasaan pengetahuan agama saja, melainkan kemampuannya menerapkan, dan mengaplikasikan dalam realitas sosial keseharian. Dengan sifatnya yang khas, maka guru harus secara cerdas memilih model pendidikan agama sesuai kebutuhan peserta didik. Dengan model pendidikan yang tepat maka dapat diwujudkan empat domain yang menjadi ukuran kecerdasan suatu bangsa. Keempat domain itu adalah, pertama, memiliki kualitas berpikir yang baik apakah itu berpikir logis ataupun strategis. Kedua, memiliki kualitas dalam tindakannya baik untuk mengatasi masalah atau mengembangkan diri. Ketiga, memiliki kualitas hidup sebagai suatu bangsa yang berdaulat dan dapat menentukan nasibnya sendiri dan keempat memiliki kualitas hidup untuk bersama-sama dengan bangsa lain di dunia. Guru pendidikan agama dapat mengembangkan model eksplorasi sosial dalam mengajarkan nilai-nilai agama pada peserta didik. Sebagai langkah pertama, guru harus mampu merencanakan aspek-aspek khusus dari tujuan yang akan dicapai. Selanjutnya guru harus memilih metode yang tepat untuk menyajikan materi tersebut. Sebaiknya guru memberikan keleluasaan kepada anak melakukan brainstroming terhadap tema-tema atau kasus yang dikemukakan guru. Mereka diberikan kesempatan berdiskusi dalam kelompok kecil atau diskusi kelas tentang berbagai problem aktual yang disampaikan oleh guru. Pada tahap selanjutnya mereka diharapkan mampu memilih nilai apa yang akan dikaji dan dianalisa sesuai konteks ilmu pengetahuan agama. Pendidikan agama memiliki fungsi yang penting dalam pengembangan watak dan kepribadian anak didik. Ia juga berperan dalam pengembangan sistem kehidupan bangsa yang sehat sehingga mampu melahirkan generasi yang tumbuh secara bertanggung jawab. Agar pendidikan ini mampumemenuhi fungsi tersebut, jangandiajarkan secara dogmatis, kaku, dan meninggalkan aspek-aspek konstektual sosial budaya yang dimiliki masyarakat. Sumber: Duniaguru

Tidak ada komentar: